Hukum Menabrak Hewan Piaraan Di Jalan Raya Sampai Mati - Seringkali kita di bikin kesal dengan ulah binatang piaraan
yang berkeliaraan di jalan-jalan. Kerbau, sapi, kambing serta berbagai macam
jenis unggas tidak jarang berebut dengan kendaraan bermotor dalam menggunakan
jalan. Pemilik binatang-binatang tersebut dengan seenaknya melepaskan binatang
piaraanya untuk mencari makan di sekitar jalan tanpa pengawasan.
Pernah terjadi seorang pengendara motor mengalami kecelakaan
jatuh dari kendaraan bermotornya karena menabrak seekor anak kambing yang
tiba-tiba menyebrang di jalan. Pengendara yang di kejutkan ulah dari anak
kambing tersebut tidak sempat menghindar dan menabrak anak kambing tersebut
sampai tewas. Sedangkan dia sendiri jatuh bersama motor yang di kendarainya dan
mengalami luka-luka di tubuhnya serta motor yang dia kendarai mengalamii
kerusakan.
Pemilik kambing marah-marah dan hampir memukuli pemilik
kendaraan. Sang pemilik anak kambing meminta ganti rugi atas kematian binatang
piaraanya. Akan tetapi pengendara bermotor malah menuntut balik pemilik kambing
ganti rugi atas kerusakan motor dan luka-luka yang dia alami karena menabrak
binatang piaraan tersebut.
Keributan hampr tak terelakan lagi antara pemilik anak
kambing dengan pengendara bermotor. Untung saja RT tempat kejadian perkara
mampu mendamaikan mereka.
Padahal, dalam Undang-Undang
No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan angkutan umum (“UU No. 22/2009”)
dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), Mengenai masalah kendaraan
bermotor menabrak hewan piaraan yang melintas di jalan raya sehingga hewan
piaraan tersebut tewas dan motor mengalami kerusakan, di sebutkan :
Di
nyatakan dalam Pasal 1 angka 24 UU No. 22/2009 bahwa:
“Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan
yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa
Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta
benda.”
Adapun
prihal kewajiban dan tanggung jawab dalam suatu kecelakaan lalu lintas :
Pasal 234 ayat
(1) UU No 22/2009 mengatur bahwa
“pengemudi,
pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum bertanggung jawab
atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau
pihak ketiga karena kelalaian pengemudi”.
Namun, pengecualian terhadap pasal ini diatur dalam Pasal 234
ayat (3) UU No. 22/2009 yang menyatakan :
“ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika:
a. Adanya keadaan
memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi;
b. Disebabkan oleh
perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau
c. Disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah
diambil tindakan pencegahan.
Maka
dalam kasus di atas, pengendara bermotor memenuhi unsur dalam pengecualian yang
diatur dalam Pasal 234 ayat (3) UU No. 22/2009 yaitu :
kecelakaan disebabkan gerakan
hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan atau dapat pula dikategorikan
sebagai adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar
kemampuan Pengemudi.
Dalam penjelasan Pasal 234 ayat (3) huruf a UU No. 22/2009 menyatakan
bahwa:
“Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa” termasuk keadaan yang
secara teknis tidak mungkin dielakkan oleh Pengemudi, seperti gerakan orang
dan/atau hewan secara tiba-tiba”.
Maka Pengendra bermotor sesuai kejadian di atas masuk dalam
pengecualian yang diatur dalam Pasal 234 ayat (3) UU No. 22/2009, dan pemilik
kendaraan bermotor tidak dapat diminta pertanggung jawabannya atas matinya anak
kambing tersebut.
Namun, hal ini hanya berlaku jika anak kambing tersebut
menyeberang jalan secara tiba-tiba (tidak sedang digiring) atau pemilik
kendaraan bermotor tersebut telah melakukan pencegahan atas terjadinya
kecelakaan itu.
Dalam Pasal 1368 KUHPerdata diatur bahwa :
“pemilik binatang, atau siapa yang memakainya, selama binatang itu
dipakainya, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh binatang
tersebut, baik binatang itu ada di bawah pengawasannya maupun binatang tersebut
tersesat atau terlepas dari pengawasannya”.
Berbeda kasusnya apabila anak kambing yang menyebrang jalan
tersebut sedang digiring oleh pemiliknya.
Pasal 116 ayat (2) huruf b UU No.
22/2009 dinyatakan bahwa
“Pengemudi harus memperlambat
kendaraannya jika akan melewati kendaraan tidak bermotor yang ditarik oleh
hewan, hewan yang ditunggangi atau hewan yang digiring”.
Bila kewajiban itu tidak di indahkan oleh pengendara bermotor,
maka pemilik anak kambing bisa menuntut pengendara bermotor atas kematian anak
kambingnya.
“pihak yang menyebabkan terjadinya
kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 UU 22/2009
yaitu wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan
pengadilan”.
Berdasarkan
pasal-pasal tersebut maka pemilik anak kambingi di anggap pihak yang
menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas dan dapat dituntut ganti rugi
sesuai dengan Pasal 236 ayat (1) UU No. 22/2009.
Adapun mengenai kewajiban mengganti kerugian, menurut Pasal 236
ayat (2) UU No. 22/2009, para pihak dapat membuat kesepakatan
damai di luar pengadilan mengenai hal penggantian kerugian.
Dasar
hukum:
0 komentar:
Posting Komentar