Di
tengah-tengah masyarakat sering kita jumpai berbagai bentuk denda berkaitan
dengan transaksi muamalah. Seorang karyawan yang tidak masuk kerja tanpa izin
akan diberikan sanksi berupa pemotongan gaji. Telat membayar angsuran kredit
motor juga akan mendapatkan denda setiap hari, dengan nominal rupiah tertentu.
Seorang penerjemah buku juga akan didenda dengan nominal tertentu setiap
harinya oleh penerbit, jika buku ternyata belum selesai diterjemahkan sampai
batas waktu yang telah disepakati. Percetakan yang tidak tepat waktu juga
dituntut untuk membayar denda dengan jumlah tertentu. Bayar listrik sesudah
tanggal 20 juga akan dikenai denda oleh pihak PLN.
Bagaimanakah
hukum dari berbagai jenis denda di atas, apakah diperbolehkan secara mutlak,
ataukah terlarang secara mutlak, ataukah perlu rincian? Inilah tema bahasan
kita pada edisi ini. Persyaratan denda sebagaimana di atas diistilahkan oleh
para ulama dengan nama syarth jaza’i.
Hukum
persyaratan semisal ini berkaitan erat dengan hukum syarat dalam transaksi
dalam pandangan para ulama. Ulama tidak memiliki titik pandang yang sama
terkait dengan hukum asal berbagai bentuk transaksi dan persyaratan di dalamnya,
ada dua pendapat.
Pendapat
pertama menyatakan bahwa hukum asalnya adalah terlarang, kecuali
persyaratan-persyaratan yang dibolehkan oleh syariat. Adapun pendapat kedua
menegaskan bahwa hukum asal dalam masalah ini adalah sah dan boleh, tidak haram
dan tidak pula batal, kecuali terdapat dalil dari syariat yang menunjukkan
haram dan batalnya.
Singkat
kata, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat yang kedua, dengan alasan
sebagai berikut:
- Dalam
banyak ayat dan hadits, kita dapatkan perintah untuk memenuhi perjanjian,
transaksi, dan persyaratan, serta menunaikan amanah. Jika memenuhi dan
memperhatikan perjanjian secara umum adalah perkara yang diperintahkan, maka
bisa ditarik kesimpulan bahwa hukum asal transaksi dan persyaratan adalah sah.
Makna dari sahnya transaksi adalah maksud diadakannya transaksi itu terwujud,
sedangkan maksud pokok dari transaksi adalah dijalankan.
- Dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kaum
muslimin itu berkewajiban melaksanakan persyaratan yang telah mereka sepakati.”
(Hr. Abu
Daud dan Tirmidzi)
Makna
kandungan hadits ini didukung oleh berbagai dalil dari al-Quran dan as-Sunnah.
Maksud dari persyaratan adalah mewajibkan sesuatu yang pada asalnya tidak
wajib, tidak pula haram. Segala sesuatu yang hukumnya mubah akan berubah
menjadi wajib jika terdapat persyaratan.
Pendapat
inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul
Qayyim. Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Segala syarat yang tidak menyelisihi
syariat adalah sah, dalam semua bentuk transaksi. Semisal penjual yang diberi
syarat agar melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu dalam transaksi
jual-beli, baik maksud pokoknya adalah penjual ataupun barang yang
diperdagangkan. Syarat dan transaksi jual-belinya adalah sah.”
Ibnul Qayyim
mengatakan, “Kaidah yang sesuai dengan syariat adalah segala syarat yang
menyelisihi hukum Allah dan kitab-Nya adalah syarat yang dinilai tidak ada
(batil). Adapun syarat yang tidak demikian adalah tergolong syarat yang harus
dilaksanakan, karena kaum muslimin berkewajiban memenuhi persyaratan yang telah
disepakati bersama, kecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang halal. Inilah pendapat yang dipilih oleh guru kami, Ibnu
Taimiyyah.”
Berdasar
keterangan di atas, maka syarth jaza’i adalah diperbolehkan, asalkan hakikat
transaksi tersebut bukanlah transaksi utang-piutang dan nominal dendanya wajar,
sesuai dengan besarnya kerugian secara riil.
- Berikut ini
adalah kutipan dua fatwa para ulama:
Yang pertama adalah
keputusan Majma’ Fikih Islami yang bernaung di bawah Munazhamah Mu’tamar
Islami, yang merupakan hasil pertemuan mereka yang ke-12 di Riyadh, Arab
Saudi, yang berlangsung dari tgl 23–28 September 2000. Hasil keputusannya
adalah sebagai berikut:
Keputusan
pertama. Syarth
jaza’i adalah kesepakatan antara dua orang yang mengadakan transaksi untuk
menetapkan kompensasi materi yang berhak didapatkan oleh pihak yang membuat
persyaratan, disebabkan kerugian yang diterima karena pihak kedua tidak
melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.
Keputusan
kedua. Adanya
syarth jaza’i (denda) yang disebabkan oleh keterlambatan penyerahan barang
dalam transaksi salam tidak dibolehkan, karena hakikat transaksi salam adalah
utang, sedangkan persyaratan adanya denda dalam utang-piutang dikarenakan
faktor keterlambatan adalah suatu hal yang terlarang. Sebaliknya, adanya
kesepakatan denda sesuai kesepakatan kedua belah pihak dalam transaksi
istishna’ adalah hal yang dibolehkan, selama tidak ada kondisi tak terduga.
Istishna’ adalah
kesepakatan bahwa salah satu pihak akan membuatkan benda tertentu untuk pihak
kedua, sesuai dengan pesanan yang diminta. Namun bila pembeli dalam transaksi
ba’i bit-taqshith (jual-beli kredit) terlambat menyerahkan cicilan dari waktu
yang telah ditetapkan, maka dia tidak boleh dipaksa untuk membayar tambahan
(denda) apa pun, baik dengan adanya perjanjian sebelumnya ataupun tanpa
perjanjian, karena hal tersebut adalah riba yang haram.
Keputusan
ketiga. Perjanjian
denda ini boleh diadakan bersamaan dengan transaksi asli, boleh pula dibuat
kesepakatan menyusul, sebelum terjadinya kerugian.
Keputusan keempat. Persyaratan denda ini dibolehkan untuk semua bentuk transaksi finansial, selain transaksi-transaksi yang hakikatnya adalah transaksi utang-piutang, karena persyaratan denda dalam transaksi utang adalah riba senyatanya.
Keputusan keempat. Persyaratan denda ini dibolehkan untuk semua bentuk transaksi finansial, selain transaksi-transaksi yang hakikatnya adalah transaksi utang-piutang, karena persyaratan denda dalam transaksi utang adalah riba senyatanya.
Berdasarkan
hal ini, maka persyaratan ini dibolehkan dalam transaksi muqawalah bagi
muqawil (orang yang berjanji untuk melakukan hal tertentu untuk melengkapi
syarat tertentu, semisal membangun rumah atau memperbaiki jalan raya).
Muqawalah adalah
kesepakatan antara dua belah pihak, pihak pertama berjanji melakukan hal
tertentu untuk kepentingan pihak kedua dengan jumlah upah tertentu dan dalam
jangka waktu yang tertentu pula. Demikian pula, persyaratan denda dalam
transaksi taurid (ekspor impor) adalah syarat yang dibolehkan, asalkan syarat
tersebut ditujukan untuk pihak pengekspor.
Demikian
juga dalam transaksi istishna’, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak
produsen, jika pihak-pihak tersebut tidak melaksanakan kewajibannya atau
terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.
Akan tetapi,
tidak boleh diadakan persyaratan denda dalam jual-beli kredit sebagai akibat
pembeli yang terlambat untuk melunasi sisa cicilan, baik karena faktor
kesulitan ekonomi ataupun keengganan. Demikian pula dalam transaksi istishna’
untuk pihak pemesan barang, jika dia terlambat menunaikan kewajibannya.
Keputusan kelima. Kerugian yang boleh dikompensasikan adalah kerugian finansial yang riil atau lepasnya keuntungan yang bisa dipastikan. Jadi, tidak mencakup kerugian etika atau kerugian yang bersifat abstrak.
Keputusan kelima. Kerugian yang boleh dikompensasikan adalah kerugian finansial yang riil atau lepasnya keuntungan yang bisa dipastikan. Jadi, tidak mencakup kerugian etika atau kerugian yang bersifat abstrak.
Keputusan
keenam.
Persyaratan denda ini tidak berlaku, jika terbukti bahwa inkonsistensi terhadap
transaksi itu disebabkan oleh faktor yang tidak diinginkan, atau terbukti tidak
ada kerugian apa pun disebabkan adanya pihak yang inkonsisten dengan transaksi.
Keputusan
ketujuh. Berdasarkan
permintaan salah satu pihak pengadilan, dibolehkan untuk merevisi nominal denda
jika ada alasan yang bisa dibenarkan dalam hal ini, atau disebabkan jumlah
nominal tersebut sangat tidak wajar.
Yang kedua adalah fatwa Haiah Kibar Ulama Saudi. Secara ringkas, keputusan mereka adalah sebagai berikut, “Syarth Jaza’i yang terdapat dalam berbagai transaksi adalah syarat yang benar dan diakui sehingga wajib dijalankan, selama tidak ada alasan pembenar untuk inkonsistensi dengan perjanjian yang sudah disepakati.
Yang kedua adalah fatwa Haiah Kibar Ulama Saudi. Secara ringkas, keputusan mereka adalah sebagai berikut, “Syarth Jaza’i yang terdapat dalam berbagai transaksi adalah syarat yang benar dan diakui sehingga wajib dijalankan, selama tidak ada alasan pembenar untuk inkonsistensi dengan perjanjian yang sudah disepakati.
Jika ada
alasan yang diakui secara syar’i, maka alasan tersebut mengugurkan kewajiban
membayar denda sampai alasan tersebut berakhir.
Jika nominal
denda terlalu berlebihan menurut konsesus masyarakat setempat, sehingga tujuan
pokoknya adalah ancaman dengan denda, dan nominal tersebut jauh dari tuntutan
kaidah syariat, maka denda tersebut wajib dikembalikan kepada jumlah nominal
yang adil, sesuai dengan besarnya keuntungan yang hilang atau besarnya kerugian
yang terjadi.
Jika nilai nominal tidak kunjung disepakati, maka denda dikembalikan kepada keputusan pengadilan, setelah mendengarkan saran dari pakar dalam bidangnya, dalam rangka melaksanakan firman Allah, yaitu surat an-Nisa’: 58.” (Taudhih al-Ahkam: 4/253–255)
Jadi,
anggapan sebagian orang bahwa syarth jaza’i secara mutlak itu mengandung unsur
riba nasi’ah adalah anggapan yang tidak benar. Anggapan ini tidaklah salah jika
ditujukan untuk transaksi-transaksi yang pada asalnya adalah utang-piutang,
semisal jual-beli kredit dan transaksi salam.
0 komentar:
Posting Komentar